Minggu, 14 Maret 2010


Kubawa hatiku yang patah ini kedalam duniaku yang ceria, yang tak pernah tersentuh rasa cinta antara dua insan. Duniaku yang cerah tiba-tiba dirundung awan hitam kelam. Malam ini aku menangis pedih, merasakan patah hati dan sedih yang menusuk. Isak tangisku seperti alunan lagu kematian, perih rasanya. Baru pertamakali aku merasakan patah hati, perasaan hampa dan sedihmenggelayut dalam otakku.

Aku menyeka air mataku.

Namun dengan begitu cepat pipiku basah lagi, airmataku mengalir tak henti. Aku tak bisa mengendalikan tangisku. Dadaku rasanya dipenuhi kesedihan yang mendalam.
Nafasku sesak.

Aku hanya bisa menahan isak tangis dikamar yang kukunci rapat, kututupi kepalaku dengan bantal agar ibu tak mendengar tangisanku. Aku memang selalu diam dalam setiap rasaku. Karena aku selalu kukuh, bahwa aku ingin cinta yang halal. Takperlulah aku mengumbar rasa ini kepada orang yang tak berhak merasakannya, karena aku akan menjaganya untuk seorang yang telah Allah takdirkan untukku. Yang berani meminangku, dan berkata kepada ayah dan ibu, tentang keseriusannya, dan pastilah dalam waktu yang tepat.

Saat hati dan jiwaku siap untuk menerima semuanya itu.

Namun bagaimanapun aku hanya wanita biasa yang punya perasaan. Walau bagaimanapun aku mengelak bahwa aku telah jatuh hati, toh hati dsn otakku tsk bisa berbohong. Saat kuterima sebuah kotak kado berwarna coklat berpitakan kuning gading darinya, dia dengan berani datang kerumah, dan meminta izin kepada ibu untuk bertemu denganku, lalu kami duduk di kursi depan serambi rumah, ibuku seakan mengawasi kami dari jauh seperti sore biasanya ia merawat tanamannya.

Dia datang menyatakan bahwa ia jatuh hati kepadaku. Saat itu aku tak bisa berkata apapun. Tapi dengan tegas aku menjawab.

Aku menolaknya.

Dengan tersenyum hambar, ia menerima penolakanku. Ia berkata kepadaku, ia mengetahui jika aku pasti akan menolaknya. Aku gadis belia yang masih duduk dibangku kelas sebelas SMA sepertinya tidak merasa telah siap dan pantas untuk menerima cinta dari seseorang. Walaupun ia telah berkata bahwa ia berani memberitahu keseriusan dan kegigihannya terhadap ayah dan ibuku.
Aku tetap menolaknya.
Dalam benakku sungguh ia tak mengerti wakti yang tepat saat menyatakan cinta. Dengan mata yang berkaca-kaca. Aku mengembalikan kotak kado coklat berpitakan kuning gading itu. aku berkata kepadanya dengan suara yang parau.

“sepertinya aku tak berhak untuk menerimanya maaf..., aku pikir jika aku menerimanya akan ada hati yang berharap dan saat ini aku tak berhak untuk memberi harapan kepada siapapun, berikanlah ini kepada seseorang yang telah halal bagimu kelak, tanpa aku jelaskan pasti engkau sudah memahami apa yang ku maksud, jika memang engkau masih menharapkan aku maka tunggulah saat yang tepat untuk berkata kepada ayah dan ibuku, saat dimana aku telah siap hati, jiwa dan raga, namun jikalau tidak masih ada aisyah-aisyah yang lain yang telah siap untuk menerima cinta darimu itu”

Aku melihat sekilas wajah kecewa itu hatiku saat itu sungguh pilu. Sesak dan begitu berat. Tapi inilah jalan yang terbaik aku tak mau memberi harapan. Ia menghela nafas panjang. Ia membuka kotak kado itu, kulihat kain berwarna hijau. Ah... jilbab
Lalu ia mengambil sebuah buku tebal dan sepucuk surat. Ia menyodorkan kearahku. Ia memohon kepadaku untuk menerimanya. Lalu ia berkata InsyaAllah perasaanya tidak akan berubah sampai aku siap untuk menerimanya, lalu bergegas ia pergi dam menhampiri ibuku untuk pamit pulang.

Aku memandang buku tebal dan sepucuk surat dengan pilu. Hatiku berkecamuk tak menentu. Kasih, mengapa engkau begitu cepat datang kepadaku? Aku yang hanya selalu diam dalam setiap debarku padamu tak menyangka engkau juga menyimpan rasa padaku.

Namun, kau tak sabar menunggu waktu yang tepat untuk menyatakan rasamu.
Sampai malam ini, tangisku tiada henti, memandangi buku tebal dan sepucuk surat itu, hingga membasahi jilbab yang kukenakan.

Ya Allah aku patah hati. Perih, pedih, menusuk relung-relung hatiku. Rasanya sesak tiada henti telah menolak orang yang selama ini yang mewarnai hatiku. Dan tak ada seorangpun yang mengetahui rasa ini kecuali Allah dan ibu. Namun dengan izzah yang kupunya, aku yakin keputusanku tepat. Walau ia te;lah menyatakan rasanya lewat tulisan yang ia tuliskan dilembar-lembaran buku tebalnya dan sepucuk surat. Aku tak merasa bahwa aku harus membalas rasaku sekarang, dengan cara yang semu. Aku yakin aku sudah tepat mengambil keputusan, walau tangisanku seperti layaknya lagu kematian.

Yakinku, tidak ada yang salah disini.

Karena aku mencintainya, aku tak ingin memberikan harapan semu.

Karena aku mencintainya, aku siap merasakan patah hati di cinta pertaku ini.

Hikssss... Aku patah hati ketika aku mencintainya (:‘_______’:)v

FIKSI Pop